Wednesday 16 March 2016

KHAYAL SANG PECUNDANG




" Kau pernah berpikir seperti aku? " , tanya seorang teman padaku.
Aku hanya diam dan sedikit mengangkat alis tebal ku.


" Apa memangnya? Berpikir tentang hidup? " , kutanya balik.


" Iya, hidupmu, juga hidupku yang seperti ini. Hidup yang penuh rasa cemas dan gonjang-ganjing. Pernah kau pikirkan sedikit? " , kata temanku.


" Tentang apa yang selalu mereka katakan tentangmu. Tentang dunia kita yang selalu dikucilkan. Tentang mereka yang selalu menganggap apa yang kau punya dan kau upayakan, tak ada gunanya. Bahkan untuk kita sendiri. " ,  lanjut temanku dengan nada agak tinggi dan parau.


Aku tersenyum. Hanya tersenyum dengan perkataan dan pertanyaan menggebu-gebu temanku itu. 
Kemudian aku sedikit bergeser dari tempat duduk ku supaya bisa lebih dekat dengan temanku.

Aku berbisik.


" Tenang, kawan. Tak perlu kau pusingkan. Semua yang kau dengar, semua yang kau rasakan , semua yang kau pikir selama ini, itu salah. " , ucapku tenang.


Temanku berdecak heran dengan apa yang dia dengar.
Kemudian dia menatap ku dalam, dan bertanya-tanya dalam hati  dimana kesalahannya.


" Jadi, maksudmu ? Selama ini... ? " , tanya nya, setelah tersadar dengan apa maksud perkataan ku.


" Benar, kawan. Mereka tak pernah mengucilkan. Mereka tak pernah berkata apa-apa. Mereka bahkan tak pernah berbuat sesuatu kepadamu. "


" Sebab, mereka bahkan tak pernah menganggapmu... "


Dia pun bergegas cepat, berlari sekencang mungkin menjauh dariku.
Tatapannya tajam. Matanya seakan berkata; hidup tak selamanya indah.
Bersiap menjawab semua.

=========================================================

Hidup nggak selalu tentang apa yang kita pikir.
Tapi segala yang kita pikir membantu kita untuk hidup.

Hidup mungkin sulit, tapi hidup juga mudah. 
Tapi tentu nggak semudah itu, juga nggak sesulit itu.

Apa yang kita pikir tentu nggak sama dengan yang orang lain pikir. 
Tapi selalu ada waktu tertentu dimana hal yang kita pikir akan sama dengan apa yang orang lain pikir.

Jangan merumitkan hal-hal yang sederhana, karena akan semakin rumit.
Tapi jangan sembarangan menyederhanakan hal-hal yang rumit, karena juga nggak sesederhana itu.

Perasaan yang kita hidupkan setelah lama mati, bukan berarti akan terus bikin kita hidup.
Tapi perasaan yang nanti akan bikin kita hidup, pasti adalah perasaan yang nggak akan kita lupakan sampai mati.


Enggak usah bingung baca tulisan ini.
Tulisan ini bukan hal yang seharusnya bikin hidupmu bingung.



Selamat malam, dari Jakarta.
yang malam ini dibuat dari cuaca yang panas dan dengan perasaan penulis yang bingung.
Semoga tetap kau dapat intinya.

Monday 7 March 2016

KERESAHAN DI UJUNG MALAM

Aku sampai di ujung jalan, yang sebelumnya tak pernah tampak didepan mataku. 
Tiba-tiba kujumpai ada pertigaan disana. 
Oh, bukan. Perempatan. 
Lalu sesaat aku terdiam sambil melihat ke langit.
Berharap Dia memberiku sebuah jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya tidak muluk-muluk.


Jalan mana yang harus kuambil?



Tersadar, ini merupakan masa yang benar-benar penuh pemikiran. 
Di titik ini aku mendapati krisis kepercayaan yang akut. 
Bahkan dari orang-orang terdekat yang biasanya selalu bisa mengembalikan kepercayaan diriku sekalipun. 
Aku mulai menjadi seorang introvert yang sangat membenci dunia.



Mungkinkah ini saatnya?
Apa ini fase saturasi yang banyak orang bicarakan?
Seperti ini rasanya ada di titik terendah?




Masuk ke dalam khayalan klasik yang selalu orang bicarakan.



Dunia akan jadi tempat yang terlalu ramai jika tanpa kehadiran Introvert...
Benar juga.
Andai aku bisa memutar waktu untuk kembali



Ah! Kalaupun bisa, mau kembali kemana? 

Kembali ke masa kecil? 
Atau lebih jauh lagi, ke masa Pembuahan? Hahahahaha..
Kenapa tak pernah berpikir untuk memilih tidak dilahirkan ke dunia saja? Bodoh.



Kemudian, bintang tertawa terbahak-bahak. 

Langit tersenyum meringis dan bulir hujan perlahan datang menari-nari sambil memainkan melodi pesakitan. 
Mengiris rasa.



Diam ditempat dan tak memilih jalan mana yang harus diambil pun bukan sebuah hal bijak. 

Itu cuma cara seorang pecundang mencari rasa aman untuk sementara.
Iya kan?



Tiba-tiba saat sudah mendekati garis akhir, aku mendapati ada yang menunggu di salah satu jalan.
Siapa ya?
Belum pernah kulihat sebelumnya.
Eh, atau sudah?
Kemudian suara-suara kecil yang biasa bersembunyi dalam pikiranku mulai bergunjing.



Sudah, tak usah dipikirkan yang dulu.
Aku tau kau manusia yang penuh pertimbangan
Tapi lihatlah, pakai dua matamu itu
Jalan itu paling terang, bukan?
Itu asalmu dulu.
Lantas apa yang kau takutkan?



Hatiku ragu, tapi langkahku tak berhenti bergerak menuju kesana.
Kemudian aku memilih untuk berdiskusi dengan isi kepalaku dan mengabaikan apa yang hatiku rasakan.
Ya, aku seorang laki-laki, ucapku.
Kalau masa depanku gelap, jelas lebih baik aku menghadapinya selayaknya seorang laki-laki, daripada berusaha mencerahkannya dengan imajinasi yang sia-sia.
Baiklah.
Mari kita mulai lagi, dengan penuh keyakinan dan tanpa keraguan.
Kataku, sambil berbisik pada Hati.




ditulis di Jakarta;
yang malam ini dibuat dari secangkir Kopi Jahe
dan disertai perasaan riang saat meminumnya.