Monday 7 March 2016

KERESAHAN DI UJUNG MALAM

Aku sampai di ujung jalan, yang sebelumnya tak pernah tampak didepan mataku. 
Tiba-tiba kujumpai ada pertigaan disana. 
Oh, bukan. Perempatan. 
Lalu sesaat aku terdiam sambil melihat ke langit.
Berharap Dia memberiku sebuah jawaban dari pertanyaan yang sebenarnya tidak muluk-muluk.


Jalan mana yang harus kuambil?



Tersadar, ini merupakan masa yang benar-benar penuh pemikiran. 
Di titik ini aku mendapati krisis kepercayaan yang akut. 
Bahkan dari orang-orang terdekat yang biasanya selalu bisa mengembalikan kepercayaan diriku sekalipun. 
Aku mulai menjadi seorang introvert yang sangat membenci dunia.



Mungkinkah ini saatnya?
Apa ini fase saturasi yang banyak orang bicarakan?
Seperti ini rasanya ada di titik terendah?




Masuk ke dalam khayalan klasik yang selalu orang bicarakan.



Dunia akan jadi tempat yang terlalu ramai jika tanpa kehadiran Introvert...
Benar juga.
Andai aku bisa memutar waktu untuk kembali



Ah! Kalaupun bisa, mau kembali kemana? 

Kembali ke masa kecil? 
Atau lebih jauh lagi, ke masa Pembuahan? Hahahahaha..
Kenapa tak pernah berpikir untuk memilih tidak dilahirkan ke dunia saja? Bodoh.



Kemudian, bintang tertawa terbahak-bahak. 

Langit tersenyum meringis dan bulir hujan perlahan datang menari-nari sambil memainkan melodi pesakitan. 
Mengiris rasa.



Diam ditempat dan tak memilih jalan mana yang harus diambil pun bukan sebuah hal bijak. 

Itu cuma cara seorang pecundang mencari rasa aman untuk sementara.
Iya kan?



Tiba-tiba saat sudah mendekati garis akhir, aku mendapati ada yang menunggu di salah satu jalan.
Siapa ya?
Belum pernah kulihat sebelumnya.
Eh, atau sudah?
Kemudian suara-suara kecil yang biasa bersembunyi dalam pikiranku mulai bergunjing.



Sudah, tak usah dipikirkan yang dulu.
Aku tau kau manusia yang penuh pertimbangan
Tapi lihatlah, pakai dua matamu itu
Jalan itu paling terang, bukan?
Itu asalmu dulu.
Lantas apa yang kau takutkan?



Hatiku ragu, tapi langkahku tak berhenti bergerak menuju kesana.
Kemudian aku memilih untuk berdiskusi dengan isi kepalaku dan mengabaikan apa yang hatiku rasakan.
Ya, aku seorang laki-laki, ucapku.
Kalau masa depanku gelap, jelas lebih baik aku menghadapinya selayaknya seorang laki-laki, daripada berusaha mencerahkannya dengan imajinasi yang sia-sia.
Baiklah.
Mari kita mulai lagi, dengan penuh keyakinan dan tanpa keraguan.
Kataku, sambil berbisik pada Hati.




ditulis di Jakarta;
yang malam ini dibuat dari secangkir Kopi Jahe
dan disertai perasaan riang saat meminumnya.

No comments:

Post a Comment